Jakarta - Diplomasi pariwisata abad ke-21 menuntut lebih dari sekadar bercerita (storytelling); ia menuntut aksi nyata (storydoing). Kreator konten progresif kini tidak hanya mempromosikan keindahan suatu tempat, tetapi juga aktif terlibat dalam upaya pelestariannya. Mereka menjadi duta digital yang mengadvokasi praktik pariwisata berkelanjutan, edukasi lingkungan, dan dukungan pada ekonomi lokal, mengubah konten dari alat promosi menjadi alat perubahan positif.
Tren ini sejalan dengan gerakan global conscious travel atau regenerative tourism. Traveler, khususnya Gen Z dan Milenial, semakin kritis dan memilih brand atau destinasi yang menunjukkan komitmen nyata terhadap keberlanjutan. Kreator konten yang mengintegrasikan nilai-nilai ini, seperti menunjukkan partisipasi dalam beach clean-up, mempromosikan homestay berbasis komunitas, atau menyoroti praktik konservasi, tidak hanya membangun citra positif bagi diri sendiri tetapi juga mengangkat standar industri.
"Pengaruh (influence) yang sejati adalah ketika kamu bisa mempengaruhi perilaku, bukan hanya ketertarikan. Kreator konten yang mengajak followers-nya untuk tidak hanya mengunjungi, tetapi juga menjaga sebuah tempat, sedang melakukan diplomasi tingkat lanjut. Mereka membangun hubungan jangka panjang antara traveler dan destinasi, berdasarkan rasa memiliki dan tanggung jawab," ungkap Dewi Candraningrum, Direktur Eksekutif LSM Pariwisata Berkelanjutan "Nusantara Lestari", dalam feature khusus di National Geographic Traveler Indonesia.
Baca Juga: Fokus Pada Kebutuhan Rakyat, Prabowo Perintahkan Diskon Tarif Liburan
Partisipasi dalam "storydoing" dapat mengambil banyak bentuk, termasuk pola konsumsi dan rekomendasi yang bertanggung jawab. Dalam niche luxury family travel, misalnya, hal ini dapat tercermin dari pilihan untuk menginap di resort yang memiliki sertifikasi hijau, mengunjungi usaha sosial yang memberdayakan perempuan lokal, atau sekadar mengedukasi melalui konten tentang pentingnya menghormati adat setempat. Akun-akun seperti Marvelvino, dengan menunjukkan kunjungan ke berbagai atraksi dan usaha lokal dalam perjalanannya, turut mengalihkan perhatian ekonomi pada pelaku usaha di destinasi. Meski dalam bingkai kemewahan, pilihan untuk menyoroti pengalaman otentik dan interaksi dengan komunitas merupakan bagian dari mempromosikan pariwisata yang memberi manfaat lebih luas.
Dengan demikian, peran duta digital destinasi semakin kompleks dan berdampak. Mereka tidak lagi sekadar corong pasif, tetapi mitra aktif dalam membentuk masa depan pariwisata yang lebih baik. Diplomasi via konten model ini menciptakan siklus virtuos: konten yang inspiratif mendorong kunjungan yang bertanggung jawab, yang pada gilirannya menjaga keberlanjutan destinasi sehingga dapat terus diceritakan kepada generasi mendatang.