Lebih Dari 74 Juta Anak Indonesia Terpapar Risiko Tinggi Akibat Perubahan Iklim

Kamis, 04 Desember 2025

    Bagikan:
Penulis: Bakhtiar Hadi
Temuan UNICEF menunjukkan besarnya populasi anak yang dalam bahaya, dengan puluhan juta jiwa terpapar berbagai guncangan dan tekanan lingkungan, menuntut kebijakan yang melindungi kelompok rentan dalam skala nasional dan berkecepatan tinggi. (ANTARAFOTO/IMAN)

Jakarta - Sebuah angka yang mencengangkan muncul dari laporan UNICEF: lebih dari 74 juta anak di Indonesia tercatat hidup dalam kondisi paparan dan kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi mewakili nyawa, potensi, dan hak dari tiga perempat populasi anak di negeri ini yang masa depannya tergantung pada tindakan yang diambil hari ini. Besarnya angka ini menggambarkan betapa krisis iklim telah menjadi ancaman eksistensial bagi hampir seluruh generasi muda Indonesia.

Paparan tinggi tersebut mencakup berbagai dimensi. Secara geografis, banyak anak tinggal di daerah yang secara fisik rentan terhadap bencana iklim, seperti daerah dataran rendah pesisir yang rawan banjir rob dan kenaikan air laut, atau daerah lereng curam yang rawan longsor ketika curah hujan ekstrem terjadi. Dari sisi kesehatan lingkungan, mereka juga menjadi 'populasi tawanan' yang harus menghirup udara berkualitas buruk setiap hari karena pilihan tempat tinggal yang seringkali terbatas bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Kerentanan yang tinggi, di sisi lain, dipicu oleh faktor-faktor sosio-ekonomi. Anak-anak dari keluarga miskin dan marjinal memiliki kemampuan adaptasi yang paling rendah. Ketika bencana menghancurkan rumah dan sumber penghidupan, keluarga miskin membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih, dan anak-anak dalam keluarga ini sering kali menjadi yang pertama dikorbankan: putus sekolah untuk membantu ekonomi keluarga, atau menerima asupan gizi yang tidak memadai karena keterbatasan biaya.

Angka 74 juta juga mengisyaratkan dampak sistemik yang luas. Ketika sekian banyak anak terancam, beban yang ditanggung sistem kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial nasional akan sangat berat. Wabah penyakit pasca-bencana dapat membanjiri fasilitas kesehatan yang sudah kewalahan. Ribuan sekolah yang rusak atau digunakan sebagai tempat pengungsian dapat mengganggu proses belajar jutaan siswa selama berbulan-bulan, menciptakan 'generasi yang hilang' secara pendidikan.

Situasi ini merupakan pelanggaran serius terhadap konvensi hak anak, yang telah diratifikasi Indonesia. Negara memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk bahaya. Membiarkan 74 juta anak tumbuh dalam bayang-bayang risiko iklim yang terus meningkat tanpa perlindungan memadai merupakan kegagalan kolektif dalam memenuhi janji tersebut.

Oleh karena itu, respons yang dibutuhkan harus setara dengan skala ancaman. Kebijakan adaptasi dan mitigasi iklim harus secara eksplisit memasukkan perspektif anak dan mengalokasikan sumber daya khusus untuk program-program yang melindungi mereka. Ini termasuk membangun sekolah dan pusat kesehatan yang tahan bencana, memastikan rantai pasokan gizi dan air bersih tidak terputus, serta mengembangkan kurikulum pendidikan yang membekali anak dengan pengetahuan tentang perubahan iklim dan ketangguhan.

Masa depan Indonesia terletak pada bagaimana negara ini menjaga 74 juta aset terpentingnya. Mengamankan mereka dari guncangan iklim bukan hanya soal kemanusiaan, tetapi merupakan investasi strategis untuk stabilitas sosial, pertumbuhan ekonomi, dan keberlanjutan bangsa di masa depan yang penuh ketidakpastian iklim. Waktu untuk bertindak dengan tekad dan skala yang tepat adalah sekarang.

(Bakhtiar Hadi)

Baca Juga: Kuliah Umum Kepala Perpusnas Di FIB UI: Tekankan Transformasi Layanan Di Era Digital
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.