Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, meminta Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, untuk melakukan evaluasi terhadap penerbitan semua izin konsesi pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, dan berharap tidak ada diskriminasi dalam penegakan hukum. "Kami menerima banyak pertanyaan dari masyarakat mengenai mengapa Menteri ESDM hanya mengambil tindakan terhadap PT Gag Nikel, sementara perusahaan lain tidak. Padahal, Kementerian Lingkungan Hidup telah menyatakan bahwa keempat perusahaan nikel di daerah tersebut melakukan pelanggaran. Raja Ampat adalah masa depan pariwisata, konservasi geologi, budaya, dan kelestarian laut kita. Oleh karena itu, saya meminta agar Indonesia dan Raja Ampat tidak dikorbankan hanya demi kepentingan segelintir perusahaan nikel ini," ungkap Evita Nursanty dalam pernyataannya di Jakarta, pada hari Senin. Ia menegaskan perlunya ketegasan terhadap keberadaan tambang nikel di pulau-pulau kecil di Raja Ampat. Jika keberadaan tambang tersebut merusak ekosistem di Raja Ampat, maka harus ditutup tanpa pandang bulu. Salah satu contohnya adalah tambang nikel yang berada di Pulau Kawe, Pulau Manuran, dan Pulau Batangpele, yang terletak di kawasan Geopark Raja Ampat, serta juga termasuk dalam Kawasan Pengembangan Pariwisata Waigeo dan sekitarnya, sesuai dengan Rencana Induk Destinasi Pariwisata Nasional Raja Ampat Tahun 2024-2044, atau pada pusat aktivitas wisata di Raja Ampat. "Pulau-pulau ini, termasuk Pulau Gag, adalah pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang berdasarkan UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aktivitas pertambangan nikel di pulau-pulau ini jelas melanggar undang-undang," tegasnya. Geopark Raja Ampat secara resmi diakui sebagai UNESCO Global Geopark pada tahun 2023. Luas wilayah geopark ini sekitar 36.660 km², mencakup pulau-pulau seperti Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool, serta terletak di pusat Coral Triangle, yang memiliki 75 persen spesies karang global dan lebih dari 1.600 jenis ikan yang tersebar di area ini. Keberlanjutan pengelolaannya sangat tergantung pada penanganan ancaman seperti aktivitas pertambangan. Evita menyatakan bahwa dirinya bersama tim Komisi VII DPR RI, yang membidangi pariwisata, ekonomi kreatif, dan industri, telah mengadakan pertemuan dengan gubernur Papua Barat Daya dan para bupati, termasuk bupati Raja Ampat, serta masyarakat setempat beberapa minggu yang lalu untuk menyerap aspirasi daerah terkait pariwisata di sini. Hal ini terutama penting setelah penetapan Raja Ampat sebagai Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) melalui Perpres No.87 Tahun 2024 mengenai Rencana Induk Destinasi Pariwisata Nasional Raja Ampat Tahun 2024-2044. Dalam Perpres tersebut, Raja Ampat diakui sebagai destinasi pariwisata geopark kepulauan yang berkualitas, inklusif, serta berlandaskan pada konservasi dan masyarakat secara berkelanjutan, sekaligus menjadi pendorong bagi pembangunan ekonomi lokal. Oleh karena itu, Evita juga mengharapkan adanya kesamaan visi di antara kementerian/lembaga serta pemerintah daerah dalam membahas hal ini, termasuk dari segi regulasinya, agar tidak terjadi ego-sektoral. "Kami melihat bahwa pertambangan di sana akan selalu bertentangan dengan rencana pembangunan pariwisata berkelanjutan di wilayah tersebut. Ini harus diatasi, kita semua tidak boleh melakukan pembohongan publik, karena jika ini dibiarkan, maka akan merugikan Raja Ampat, Papua Barat Daya, Papua, dan Indonesia. Apakah demi kepentingan 3-4 perusahaan tambang nikel ini, kita harus mengorbankan kepentingan yang jauh lebih besar?" tegasnya. Komisi VII DPR RI juga merasakan keresahan dari daerah yang tidak dilibatkan dalam pemberian izin tambang, bahkan perusahaan-perusahaan tambang ini juga tidak pernah berkomunikasi. Fenomena ini menimbulkan berbagai isu hukum, lingkungan, dan tata kelola. "Mereka (daerah) mengeluh karena hanya menjadi penonton, bahkan perusahaan-perusahaan tambang ini tidak berkomunikasi dengan daerah. Hal ini diungkapkan oleh para kepala daerah," ujar Evita. Dia menyatakan bahwa banyak kepala daerah yang meminta agar pemerintah daerah dilibatkan dalam proses awal. Jangan sampai peran pemerintah daerah atas wilayahnya, termasuk aspek lingkungan dan sosial, diabaikan, karena jika tidak dilibatkan, potensi kerusakan lingkungan bisa meningkat, dan terjadi ketimpangan-ketimpangan lain, terutama dalam penerimaan daerah, serta dapat memicu konflik sosial akibat kurangnya konsultasi dan partisipasi publik. "Revisi regulasi teknis agar daerah dilibatkan dalam proses evaluasi izin, serta meningkatkan mekanisme konsultasi publik sebelum izin diberikan," ujarnya.