Titi Anggraini, selaku Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyatakan bahwa revisi terhadap Undang-Undang (UU) yang mengatur Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) dapat mencegah terjadinya 'pemilu otoriter'. Menurutnya, V-Dem Institute, sebuah organisasi penelitian demokrasi internasional, mencatat bahwa pada tahun 2025, Indonesia diprediksi akan mengalami penurunan peringkat dari 'Demokrasi Elektoral' menjadi 'Otoritarian Elektoral', berdasarkan penelitian terkait dinamika politik di Indonesia pada tahun 2024. Titi menegaskan bahwa meskipun Indonesia melaksanakan pemilu, prinsip-prinsip pemilu yang bebas dan adil belum sepenuhnya diterapkan. Dalam sebuah diskusi publik mengenai RUU Pemilu yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, pada hari Senin, dia menjelaskan bahwa V-Dem Institute sebelumnya menilai pemilu eksekutif multipartai di Indonesia berlangsung dengan bebas dan adil, dengan pemenuhan yang cukup terhadap hak suara, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berserikat. Namun, pada tahun 2024, syarat-syarat dasar untuk pemilu, seperti kebebasan berekspresi dan berserikat, serta pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil, belum terpenuhi dengan baik. Dia menekankan bahwa revisi UU Pemilu sangat mendesak, mengingat UU tersebut telah diuji di Mahkamah Konstitusi sebanyak 159 kali, sementara UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah diuji sebanyak 82 kali. Dengan banyaknya pengujian di MK, kedua undang-undang tersebut telah mengalami banyak rekonstruksi makna, baik yang dibatalkan maupun yang diperintahkan untuk diatur ulang. 'Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Pemilu kita sudah dalam kondisi yang tidak baik, banyak mengalami perbaikan yang tidak konsisten, termasuk juga Undang-Undang Pilkada,' ujarnya. Ia menyatakan bahwa diskusi mengenai revisi Undang-Undang Pemilu tidak dapat ditunda lebih lama lagi. Menurutnya, keterlambatan dalam pembahasan tidak hanya akan mengurangi kualitas proses dan substansi, tetapi juga berisiko terhadap yudisialisasi politik. Proses revisi yang dilakukan secara terburu-buru menjelang tahun politik, ujarnya, pasti akan berdampak pada partisipasi masyarakat serta kedalaman analisis setiap poin perubahan atau perbaikan regulasi. "Jika pengadilan dan hakim terlalu terlibat, hal itu juga membuka peluang untuk politisasi pengadilan. Sebab, kekuasaan akan memanfaatkan pengadilan untuk menjalankan agenda mereka sendiri, dan kita sudah memiliki pengalaman tanpa perlu dibahas lebih lanjut," ujarnya.