Inflasi terjadi ketika terdapat peningkatan yang berkelanjutan dalam harga barang dan jasa di suatu perekonomian, sering kali disebabkan oleh peningkatan jumlah uang yang beredar. Hal ini mengakibatkan penurunan daya beli uang, mendorong pembelanjaan berlebihan, dan dapat menimbulkan masalah ekonomi yang lebih luas, seperti yang terlihat dalam kasus Republik Weimar dan Zimbabwe. Bitcoin muncul sebagai alternatif investasi yang menarik dalam menghadapi inflasi, karena jumlahnya yang terbatas—hanya 21 juta Bitcoin yang akan ada. Berbeda dengan mata uang fiat yang pasokannya dapat diperluas tanpa batas dan sering kali dicetak sesuai kebutuhan pemerintah, Bitcoin memberikan bentuk keamanan melalui kelangkaannya yang dijamin oleh algoritma yang mendasarinya. Contoh nyata penggunaan Bitcoin sebagai pelindung nilai terhadap inflasi dapat dilihat di Argentina, Turki, dan Nigeria. Di negara-negara ini, ketidakstabilan ekonomi dan kebijakan moneter yang tidak efektif mendorong masyarakat untuk mencari alternatif selain mata uang lokal mereka. Di Argentina, misalnya, dengan akses yang terbatas terhadap dolar AS akibat kebijakan pemerintah, masyarakat beralih ke Bitcoin sebagai cara untuk mempertahankan nilai tabungan mereka. "Bitcoin tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan nilai, tetapi juga sebagai media transaksi yang relatif stabil dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu," ungkap Tim Pintu Academy. Di Nigeria, ketika pemerintah membatasi impor dolar AS, banyak warga yang beralih ke Bitcoin untuk memfasilitasi perdagangan dan melindungi aset mereka. Dengan sifat deflasi dan jumlah maksimum yang terbatas, Bitcoin menawarkan solusi bagi mereka yang ingin melindungi nilai aset dari dampak negatif inflasi.