Jakarta - Pemerintah Indonesia, melalui Perpustakaan Nasional (Perpusnas), mengukuhkan komitmennya dalam pelestarian warisan budaya dengan menyambut kepulangan sejumlah naskah kuno hasil repatriasi dari Selandia Baru. Menanggapi momen penting ini, Kepala Perpusnas menggarisbawahi tiga pilar aksi yang akan dijalankan, dengan penekanan kuat pada preservasi melalui teknologi digital dan perluasan akses bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Langkah ini menunjukkan pergeseran paradigma dari sekadar menyimpan menjadi aktif mengelola dan mendistribusikan pengetahuan.
Repatriasi naskah kuno merupakan prestasi diplomasi yang patut diapresiasi. Proses ini melibatkan negosiasi tingkat tinggi, kajian provenansi (asal-usul kepemilikan), dan prosedur hukum yang ketat di kedua negara. Keberhasilan ini tak lepas dari meningkatnya kesadaran global tentang pentingnya restitusi benda budaya ke negara asal, serta komitmen Pemerintah Selandia Baru yang menjunjung prinsip etika dalam kepemilikan koleksi budaya. Kepulangan naskah ini menambah daftar aset bangsa yang berhasil dikembalikan.
Pilar aksi pertama adalah konservasi dan restorasi berbasis keilmuan. Naskah-naskah yang telah lama berada di lingkungan yang berbeda perlu diadaptasikan secara perlahan ke kondisi penyimpanan ideal di Perpusnas. Tim konservator akan bekerja untuk menstabilkan kondisi fisik naskah, menangani kerusakan seperti sobekan, lubang, atau lapuk, menggunakan materi dan metode yang dapat dibalik (reversible) dan sesuai standar internasional. Ini adalah fondasi sebelum naskah dapat dipelajari atau didigitalisasi.
Pilar kedua, yang menjadi prioritas tinggi, adalah digitalisasi menyeluruh. Perpusnas akan menggunakan teknologi pemindaian resolusi tinggi untuk menangkap setiap detail naskah, termasuk tekstur kertas, warna tinta, dan bahkan bekas lipatan. Hasil digitalisasi ini akan disimpan dalam sistem preservasi digital jangka panjang yang aman dari ancaman keusangan teknologi atau bencana. Digitalisasi memungkinkan naskah "hidup" dalam dunia maya, terlepas dari kondisi fisiknya yang rentan.
Pilar ketiga adalah penerapan kebijakan akses terbuka yang terkendali. Masyarakat, peneliti, dan akademisi akan diberikan akses terhadap versi digital naskah-naskah ini melalui platform daring Perpusnas. Sementara akses fisik ke naskah asli akan sangat dibatasi demi keamanan, akses digital justru didorong seluas-luasnya. Kebijakan ini dirancang untuk mendemokratisasi pengetahuan, memungkinkan siapapun, di manapun, untuk menelaah warisan leluhur tanpa batas geografis.
Naskah kuno adalah gudang ilmu pengetahuan tradisional yang belum sepenuhnya tergali. Ia mungkin berisi resep pengobatan, catatan astronomi, syair-syair filsafat, atau kronik sejarah lokal yang tidak tercatat dalam sejarah arus utama. Dengan memfasilitasi akses penelitian, Perpusnas membuka peluang bagi lahirnya disertasi, buku, dan terobosan akademik baru yang dapat mengkontribusikan pemahaman yang lebih utuh tentang peradaban Nusantara.
Implementasi ketiga pilar ini memerlukan infrastruktur teknologi informasi yang tangguh dan sumber daya manusia yang kompeten. Perpusnas perlu terus berinvestasi dalam pengembangan sistem informasi, pelatihan SDM di bidang preservasi digital, dan membangun jaringan dengan repositori digital global. Dengan demikian, khazanah naskah kuno Indonesia tidak hanya terlindungi, tetapi juga dapat bersaing dan diakui dalam peta pengetahuan dunia.
Pada akhirnya, kembalinya naskah kuno ini dan rencana penanganannya adalah sebuah narasi optimisme. Ia menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sanggup merebut kembali masa lalunya, merawatnya dengan teknologi masa kini, dan mewariskannya untuk kemaslahatan masa depan. Melalui digitalisasi dan akses terbuka, Perpusnas mentransformasi naskah kuno dari benda mati menjadi sumber inspirasi yang hidup dan dinamis bagi pembangunan bangsa.