Majalengka - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengakui bahwa untuk benar-benar menghidupkan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, penyempurnaan konektivitas mutlak diperlukan. Dalam kunjungan kerjanya, Senin (8/12/2025), Dedi menyatakan bahwa dari sisi infrastruktur jalan, Kertajati sudah terlayani dengan baik melalui jaringan tol yang terhubung ke Patimban, Jakarta, dan Bandung. Namun, ia menegaskan bahwa satu puzzle besar masih belum terselesaikan: akses transportasi kereta api.
“Nah kereta kita kan dekat tuh jalurnya ke Cirebon. Nanti saya bisa bicara dengan PT KAI lah kalau itu,” ujar Dedi Mulyadi, menunjukkan rencana untuk berkoordinasi dengan operator kereta api nasional. Pernyataan ini menegaskan bahwa isu konektivitas rel telah masuk dalam agenda prioritasnya. Tanpa akses kereta yang andal, mobilitas massal penumpang dan distribusi logistik yang efisien akan sulit terwujud, membatasi potensi Kertajati sebagai pusat ekonomi.
Dedi Mulyadi tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan solusi yang dianggap realistis. Ia mengingatkan bahwa wilayah Majalengka sebenarnya memiliki sejarah jalur kereta api. “Dulu Majalengka ada jalur sampai Kadipaten, ya tinggal ditarik saja dari Kadipaten, kan gak ada masalah,” paparnya. Opsi reaktivasi jalur lama ini dinilai lebih cepat dan ekonomis dibandingkan membangun jalur baru dari nol.
Alternatif lain yang ia singgung adalah menghubungkan Kertajati dengan jaringan kereta api yang sudah ada di Cirebon, mengingat jarak geografis yang relatif dekat. Koneksi ke Cirebon akan membuka akses yang lebih luas, karena kota tersebut sudah menjadi simpul transportasi rel yang terhubung dengan berbagai kota di Jawa. Hal ini akan memperluas catchment area atau wilayah jangkauan penumpang bandara, sehingga tidak hanya mengandalkan masyarakat dari wilayah Bandung Raya saja.
Penyediaan akses kereta api bukanlah sekadar fasilitas tambahan, melainkan kebutuhan strategis. Terlebih dengan visi Dedi untuk menjadikan Kertajati sebagai pusat industri pertahanan dan manufaktur. Industri-industri berat memerlukan moda transportasi yang mampu mengangkut barang dalam volume besar dan berat secara ekonomis, di mana kereta api adalah jawabannya. Tanpanya, daya saing Kertajati sebagai kawasan industri akan jauh berkurang.
Upaya meningkatkan konektivitas ini juga merupakan respons dari kritik yang selama ini dialamatkan kepada Kertajati. Analisis sering menyebutkan bahwa bandara ini menderita karena lokasinya dianggap “in the middle of nowhere” dengan akses yang kurang mendukung. Pembukaan jalan tol Cisumdawu telah menjadi langkah maju yang signifikan, tetapi untuk menarik lebih banyak penumpang dan investasi, jaringan transportasi multimoda yang lengkap harus segera diwujudkan.
Komitmen Dedi Mulyadi untuk membicarakan hal ini langsung dengan PT KAI merupakan sinyal politik yang kuat. Ia menyederhanakan masalah dengan menyatakan, “Menurut saya tinggal kemauan saja”. Pernyataan ini menggeser beban dari persoalan teknis dan finansial yang kompleks menjadi persoalan komitmen dan prioritas politik dari para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah provinsi, pusat, dan BUMN.
Jika akses kereta api dapat terwujud, itu akan menjadi game-changer bagi Kertajati. Bandara ini tidak hanya akan lebih mudah dijangkau oleh calon penumpang, tetapi juga akan terintegrasi dengan visi pengembangan sebagai hub logistik dan industri. Penyelesaian konektivitas ini akan melengkapi transformasi Kertajati dari infrastruktur yang underutilized menjadi aset strategis yang benar-benar berdenyut dan terhubung dengan perekonomian regional dan nasional.