Jakarta - Di tengah kehidupan digital yang semakin mendominasi, sebuah pola perilaku baru muncul dan menguat: doom scrolling. Istilah ini menggambarkan kecenderungan seseorang untuk terus menggulir feed media sosial atau portal berita meskipun konten yang dikonsumsi penuh dengan kabar buruk dan menimbulkan rasa cemas, marah, atau takut. Aktivitas yang sering dimulai secara tidak sadar ini telah berevolusi dari sekadar kebiasaan buruk menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental publik secara luas.
Praktik ini sangat mudah terjadi karena kombinasi desain teknologi dan psikologi manusia. Di satu sisi, algoritma media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna dengan menyajikan konten yang relevan berdasarkan interaksi sebelumnya. Ketika seseorang kerap mengklik berita bernada negatif, sistem akan terus menyuplai informasi sejenis, secara perlahan menciptakan ruang digital yang didominasi kekhawatiran. Di sisi lain, otak manusia secara alami lebih memperhatikan informasi negatif sebagai bagian dari mekanisme bertahan hidup, yang dalam konteks digital justru menjadi bumerang.
Dampak psikologis dari doom scrolling sangat kompleks. Paparan berita buruk yang terus-menerus dapat menyebabkan peningkatan kecemasan, kekhawatiran berlebihan terhadap masa depan, dan kelelahan emosional. Psikolog klinis Dra. Tika Bisono, MPsiT., Psikolog, menegaskan bahwa kebiasaan ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya stres dan kelelahan emosional di era digital, dan seringkali sangat sulit untuk dilepaskan.
Efeknya merambah ke kehidupan sosial dan produktivitas. Masyarakat yang banyak mengonsumsi berita negatif berisiko memandang dunia lebih gelap dan penuh konflik dari realitas sebenarnya, yang dapat memicu apatisme publik dan memperdalam polarisasi sosial. Di tempat kerja, memulai hari dengan paparan kabar negatif dapat langsung membentuk suasana hati yang buruk, menurunkan konsentrasi, dan menyedot energi emosional yang berharga.
Ritual doom scrolling pada malam hari menimbulkan konsekuensi khusus. Kebiasaan membuka media sosial sebelum tidur sering mengganggu jam biologis tubuh. Paparan cahaya biru dari gawai menekan produksi melatonin, hormon pengatur tidur, sementara beban informasi negatif membuat pikiran tetap siaga. Gangguan tidur yang berulang ini dapat menjadi pintu masuk bagi masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti kecemasan kronis.
Mengatasi fenomena ini memerlukan strategi dari tingkat individu hingga sistem. Membangun literasi digital emosional, yaitu kemampuan mengenali bagaimana konten memengaruhi kondisi psikologis, adalah langkah pertama. Individu perlu peka terhadap sinyal tubuh seperti sesak di dada atau dorongan kuat untuk terus menggulir meski lelah sebagai tanda untuk berhenti. Penerapan batasan teknis, seperti menetapkan jadwal khusus mengakses berita dan menggunakan fitur pengatur waktu aplikasi, sangat disarankan.
Di tingkat yang lebih luas, diperlukan tanggung jawab kolektif dari platform digital. Algoritma yang hanya mengejar intensitas interaksi perlu ditinjau ulang agar tidak mengorbankan kesehatan mental pengguna. Sementara itu, konten edukasi tentang kesehatan mental dan literasi digital perlu diperkuat untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat.
Pada akhirnya, doom scrolling adalah gejala dari hubungan manusia dengan teknologi yang berkembang terlalu cepat. Melindungi kesehatan mental publik di era digital adalah tugas bersama yang membutuhkan upaya sinergis dari individu, masyarakat, platform digital, dan institusi negara untuk memastikan ruang digital menjadi wahana yang memperkuat, bukan meruntuhkan, ketahanan sosial kita.